Kadar Air dan Kehilangan Hasil
ACARA 3
KADAR AIR DAN
KEHILANGAN HASIL
I. TUJUAN
1. Berlatih
mengukur kadar air komoditas pascapanen
2. Berlatih
menentukan tingkat kehilangan hasil komoditas pascapanen
II. TINJAUAN PUSTAKA
Penanganan
pascapanen padi merupakan upaya sangat strategis dalam rangka mendukung peningkatan
produksi padi. Kontribusi penanganan pascapanen terhadap peningkatan produksi
padi dapat tercermin dari penurunan kehilangan hasil dan ter-capainya mutu
gabah/ beras sesuai persyaratan mutu. Setyono (2010) menyatakan masalah utama
dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya kehilangan hasil serta gabah
dan beras yang dihasilkan bermutu rendah. Hal tersebut terjadi pada tahapan
pemanenan, perontokan dan pengeringan (Hidayat, 2014).
Masalah
utama yang dihadapi dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya susut (losses) baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Permasalahan tersebut berakibat adanya kecenderungan tidak
memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki tingkat pendapatannya (Setyono,
2010). Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat mudah rusak dan akan
mengalami susut pada saat penanganan pascapanen dan pengolahan (Hidayat, 2014).
Penanganan pascapanen padi meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu penentuan
saat panen, pemanenan, penumpukan sementara di lahan sawah, pengumpulan padi di
tempat perontokan, penundaan perontokan, perontokan, pengangkutan gabah ke
rumah petani, pengeringan gabah, pengemasan dan penyimpanan gabah,
penggilingan, pengemasan dan penyimpanan beras. Dari rangkaian kegiatan
pascapanen tersebut, ada tiga kegiatan utama yang saling terkait satu sama lain
dalam mencapai tujuan akhir yaitu mendapatkan beras giling yang mutu serta
rendemennya tinggi, yaitu; (1) panen, (2) pengeringan dan (3) penggilingan
(Sutrisno et al., 2006). Salah satu
penanganan pascapanen bijian adalah pengeringan. Pengeringan merupakan usaha
mengurangi mengurangi sejumlah massa air dari dalam bahan. Pengeringan menjadi
sangat penting karena dengan berkurangnya kandungan air dalam bahan, resiko
kerusakan bahan akibat aktivitas enzimatis dan biologi dapat dikurangi sehingga
bahan pertanian dapat dipertahankan kualitasnya selama proses penyimpanan.
Usaha peningkatan produksi pada aspek prapanen selama ini sudah dilakukan
sedangkan perhatian pada pengelolaan pasca panen masih kurang, sehingga
menyebabkan bahan yang disimpan mengalami penyusutan baik secara kualitas
karena terjadi pengotoran dan perusakan produk, maupun secara kuantitas karena
kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ditempat penyimpanan maupun penimbunan
hasil. Kerusakan hasil setelah panen tercatat lebih besar dibandingkan dengan
sebelum panen, yaitu antara 10 sampai 54 persen setiap tahun. Perkembangan
maupun kerusakan yang ditimbulkan hama gudang sangat dipengaruhi oleh beberapa
hal yakni : faktor genetik atau faktor bawaan, faktor ekologis atau faktor luar
dengan hama tersebut (makanan, iklim, musuh alami serta kegiatan dan daya upaya
manusia). Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi perkembangan dan kehidupan
hama gudang yaitu kadar air bahan simpanan (Tandiabang, 1998).
Dalam
penanganan pascapanen, kadar air biji umumnya dinyatakan dalam berat basah.
Artinya, berat basah tersebut dinyatakan sebagai presentase air yang terkandung
dalam biji-bijian basah. Penanganan pascapanen yang tidak tepat seperti
pengeringan dan praktik penyimpanan dapat menyebabkan penurunan kualitas biji
dan kualitas benih. Seperti misalnya, penyebab utama dalam celah atau retakan dari biji dikarenakan terjadi adsorpsi
kelembaban oleh biji-bijian kering terhadap kadar air di bawah 16%. Hal ini
dapat terjadi baik ketika biji basah dicampur dengan biji kering (dalam
penyimpanan, dalam pengeringan, atau setelah pengeringan dengan gradient
kelembaban yang dihasilkan) atau ketika biji kering terkena udara lembab dari
lingkungan dengan kelembaban relatif lebih tinggi daripada kadar air biji yang
sesuai. Celah pada biji biasanya menyebabkan gabah retak selama proses
penggilingan dan dengan demikian mengurangi hasil akhirnya (Anonim, 2013).
Salah
satu faktor yang cukup mempengaruhi perkembangan dan kehidupan hama gudang
yaitu kadar air bahan simpanan. Berdasarkan kesimpulan awal inilah maka
dipandang perlu untuk mengadakan penelitian guna mengetahui tingkat kadar air
komoditi jagung yang dikembangkan di Halmahera Utara saat ini untuk menekan dan
mencegah kerusakan yang disebabkan hama Sitophilus zeamais karena jagung dengan
kadar air tinggi sangat disukai jenis hama gudang (Kastanja, 2007).
III. METODOLOGI
Praktikum
Pengelolaan Hama dan Penyakit Acara 3 yang berjudul Kadar Air dan Kehilangan
Hasil telah dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2017 di Laboratorium
Pengendalian Hayati, Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat dan bahan yang digunakan
pada acara ini adalah sampel gabah, jagung, kacang merah, kacang hijau,
kedelai, timbangan kepekaan 10mg, alat pengukur kadar air (Moisture Tester), dan
kantung plastik.
Pada
praktikum kali ini dilakukan dua cara kerja, yaitu mengukur kadar air dan
menentukan tingkat kehilangan hasil. Mengukur kadar air pertama-tama alat
pengukur kadar air disiapkan. Petunjuk penggunaan alat perlu dipelajari sesuai
dengan tipenya. Sampel gabah, kacang hijau, kedelai, kacang merah, dan jagung
disiapkan. Kemudian masing-masing sampel diukur kadar airnya sebanyak tiga kali
ulangan. Hasil pengamatan kadar air dibuat tabel yang memuat kolom: jenis
komoditas
Untuk
menentukan tingkat kehilangan hasil, pertama disiapkan semua alat dan bahan
yang akan digunakan. Dilanjutkan dengan penyaringan komoditas, ukuran diameter
mata saringan yang digunakan disesuaikan dengan jenis komoitas untuk memisahkan
debu, serangga dan material lain. Kondisi original
grain (ukuran dan bentuk standar) ditetapkan. Kemudian ditentukan baseline method yang akan digunakan.
Berat kering biji (Dry Weight Grain)
diukur dengan menggunakan rumus:
Bjk =
Dimana
Bjk merupakan berat biji kering (%), Bj merupakan berat biji, dan Ka merupakan
kadar air (%). Setelah didapatkan berat
kering biji, dapat dilakukan pengukuran terhadap kehilangan berat dengan rumus:
KB (%) = ,
Dimana
KB merupakan kehilangan berat (%), Bbu merupakan berat biji utuh, Jbu merpakan
jumlah biji utuh, Bbr merupakan berat biji rusak, dan Jbr merupakan jumlah biji
rusak. Hasil yang diperoleh kemudian dikalikan dengan faktor konversi
masing-masing komoditas, dimana besarnya faktor konveksi bervariasi; Gabah ½,
Sorghum ¼, Gandum ½, dan Jagung 2/9.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Hasil perhitungan kadar air, biji kering, dan kehilangan berat
No
|
Komoditas
|
KA (%)
|
Bjk
|
KB (%)
|
1
|
Gabah
|
11.13
|
77.32
|
32.21
|
2
|
Jagung
|
12.26
|
62.78
|
24.31
|
3
|
Kacang Hijau
|
11.03
|
25.62
|
20.42
|
4
|
Kacang Kedelai
|
13.93
|
65.07
|
51
|
5
|
Kacang Merah
|
13.7
|
112.36
|
42.3
|
B. Pembahasan
Kadar air merupakan
kunci keamanan komoditas di gudang. Aktivitas biologis hanya terjadi apabila
tersedia air dalam jumlah minimum yang diperlukan untuk suatu aktivitas sesuai
dengan organisme yang bersangkutan. Untuk perkecambahan biji diperlukan
sejumlah air. Biji kacang-kacangan misalnya direndam dalam air selama 24-28
jam, mulai terjadi perkecambahan dengan adanya perubahan karbohidrat menjadi
sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Apabila uap air yang tersedia lebih rendah
daripada yang diperlukan untuk perkecambahan, kondisi ini cocok untuk
pertumbuhan bakteri. Bahkan, uap air yang lebih rendah lagi cukup untuk pekembangan
jamur dan tungau. Uap air yang lebih rendah lagi masih memungkinkan untuk
perkembangan serangga (Wagiman, 2014).
Dalam penyimpanan
masalah kadar air, suhu dan kelembaban udara sangat menentukan daya simpan.
Penyimpanan jagung dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu berkulit,
tongkol terkupas dan pipilan. Bahan yang disimpan umumnya dalam keadaan kering
dengan kadar air maksimum 14 persen (Efendi, 1980). Penurunan mutu bahan pangan
dikelompokan dalam penyusutan kualitatif dan penyusutan kuantitatif. Penyusutan
kualitatif adalah kerusakan yang terjadi akibat perubahanperubahan biologi.
(mikroba, serangga, tungau, respirasi), perubahan-perubahan fisik (tekanan,
getaran, suhu, kelembaban), serta perubahan-perubahan kimia dan biokimia
(reaksi pencoklatan, ketengikan, penurunan nilai gizi dan keamanan terhadap
kesehatan manusia). Penyusutan kuantitatif adalah kehilangan jumlah atau bobot
hasil pertanian akibat penanganan pasca panen yang tidak memadai dan juga
karena adanya gangguan biologi (proses respirasi, serangan serangga dan tikus).
Kerusakan yang terjadi selama penyimpanan akan menjadi penyebab utama penurunan
mutu. Kerusakan dapat berupa rusak fisik yang disebabkan oleh serangan hama dan
jamur sehingga terjadi penurunan nilai pangan dan terkontaminasi, rusak kimiawi
disebabkan oleh penurunan kadar karbohidrat protein dan lemak karena proses
metabolisme dan mikroba (Kartasapoetra, 1987). Tingkat kerusakan dari hasil
panen yang dapat disimpan sangat dipengaruhi oleh kondisi penyimpan terutama
suhu dan kelembaban serta wadah penyimpanan. Hama gudang dalam simpanan
memerlukan keadaan suhu udara atau temperature minimum dan maksimum. Temperatur
minimum ialah temperature terendah, dimana hama produk pertanian dalam simpanan
dapat hidup. Sedangkan temperatur maksimum adalah suhu udara tertinggi dimana
hama produk pertanian dalam simpanan masih dapat hidup. Biasanya batas antara
temperatur minimum dan temperature maksimum yaitu antara 5°C sampai 45°C ,
sedangkan temperatur optimumnya berkisar antara 25°C sampai 30°C.
Hilang didefinisikan
sebagai sesuatu yang tidak ada lagi atau lenyap dari pemiliknya. Oleh karena itu gabah yang lenyap tanpa
sepengetahuan dan seizin petani dapat disebut hilang. Kehilangan gabah berarti keadaan yang menimpa
atau dialami produsen (petani) akibat lenyapnya gabah hasil panenan tanpa
seizin petani. Gabah yang hilang adalah pengurangan atau penurunan berat gabah
akibat tercecer yang tidak dapat diambil kembali oleh petani baik kuantitas
maupun kualitas selama proses penanganan pasca panen padi. Kehilangan kuantitatif ditujukan kepada
jumlah atau bobot, sedangkan kehilangan kualitatif ditujukan kepada penurunan
mutu (kualitas) (Anugrah et al.,
2015).
Hortikultura, terutama
sayuran merupakan sumber provitamin A, vitamin C, dan mineral dan terutama dari
kalsium dan besi. Selain hal tersebut sayuran juga merupakan sumber serat yang
sangat penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Sayuran juga dapat memberikan
kepuasan terutama dari segi warna dan teksturnya. Disisi lain sayuran adalah
hasil pertanian yang apabila selesai dipanen tidak ditangani dengan baik akan
segera rusak. Kerusakan ini terjadi akibat pengaruh fisik, kimiawi,
mikrobiologi, dan fisiologis (Hotton, 1986). Walaupun perubahan ini pada
awalnya menguntungkan yaitu terjadinya perubahan warna, rasa, dan aroma tapi
kalau perubahan ini terus berlanjut dan tidak dikendalikan maka pada akhirnya
akan merugikan karena bahan akan rusak/busuk dan tidak dapat dimanfaatkan. Di
Indonesia, hortikultura yang tidak dapat dimanfaatkan diistilahkan sebagai
“kehilangan” (losses) mencapai 25-40%
(Muhtadi,1995) Nilai ini sangat besar bila dibandingkan dengan negara-negara
maju. Kehilangan ini terjadi secara alamiah setelah dipanen akibat aktivitas
berbagai jenis enzim yang menyebabkan penurunan nilai ekonomi dan gizi.
Kerusakan hortikultura dapat dipercepat bila penanganan selama panen atau
sesudah panen kurang baik. Menurut Samad (2006), setiap jenis sayuran memiliki
sifat karakteristik penyimpanan tersendiri karena dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain varietas, tempat tumbuh, kondisi tanah dan cara budidaya tanaman,
derajat kematangan, dan cara penanganan yang dilakukan sebelum disimpan.
Gambar 1. Berat biji
kering komoditas pascapanen
Dari gambar di atas
dapat dilihat bahwa berat biji kering tertinggi hingga terendah berturut-turut
yaitu pada kacang merah sebesar 112.36%; gabah 77.32%; kacang kedelai 65.07%;
jagung 62.78%; dan kacang hijau 25.62%. Apabila berat biji kering hampir mencapai
100% atau bahkan lebih, maka dapat dikatakan bahwa kandungan air pada komoditas
tersebut juga rendah. Dari beberapa komoditas di atas, kacang hijau menunjukkan
berat biji kering paling rendah, sedangkan kacang merah menunjukkan berat biji
kering paling tinggi. Menurut Kastanja (2007), kadar air memiliki batas
maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering
dapat lebih dari 100%. Apabila komoditas yang disimpan memiliki berat kering
yang rendah, maka komoditas tersebut belum aman untuk disimpan di dalam gudang,
sehingga memerlukan proses pengeringan lebih lanjut.
Gambar 2. Kadar air komoditas pascapanen
Dari gambar di atas
dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu
Kacang kedelai 13.93%; Kacang merah 13.7%; Jagung 12.26%; Gabah 11.13%; dan
Kacang hijau 11.03%. Kadar air ini merupakan faktor yang cukup mempengaruhi
perkembangan dan kehidupan hama gudang yang mengakibatkan tingginya kerusakan
yang ditimbulkan. Menurut Haryadi (2006), beras pecah kulit mengandung kadar
protein sekitar 8% pada kadar air 14% dan sekitar 7% pada beras giling.
Sedangkan pada kacang kedelai mengandung kadar lemak 20.87%, kadar protein
terlarut 29.51%, dan kadar air 16.98% (Mardiyanto et al., 2015). . Kandungan air pada komoditas Gabah dan Jagung
dapat dikatakan sangat baik sehingga dapat disimpan dalam gudang. Pada biji
Jagung dengan kandungan air 25% tidak dapat disimpan di dalam gudang. karena
dapat menurunkan mutu, mudah diserang oleh hama, cepat membusuk dan ditumbuhi
cendawan. Untuk menurunkan kadar air awal tersebut dilakukan pengeringan hingga
mencapai kadar air yang ditentukan (Kastanja, 2007).
Gambar 3. Kehilangan
berat komoditas pascapanen
Dari gambar di atas
dapat dilihat bahwa kehilangan berat tertinggi hingga terendah berturut-turut
yaitu Kacang kedelai 51%; Kacang merah 42.3%; Gabah 32.21%; Jagung 24.31%; dan
Kacang hijau 20.42%. Kehilangan hasil pada kacang kedelai lebih dari 50%, hal
ini dikarenakan kehilangan berat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor
seperti serangan hama pada penyimpanan, suhu, kelembaban, dsb. akan berpengaruh
pada kerusakan hasil produk yang disimpan di dalam gudang. Semakin besar
kehilangan berat pada suatu komoditas, maka akan menurunkan mutu dari komoditas
itu sendiri.
V. KESIMPULAN
Dari praktikum yang
telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Kadar air pada suatu komoditas
pascapanen menjadi sangat penting dalam menjaga mutu komoditas tersebut. Pada
pengamatan tersebut, kadar air yang paling baik yaitu pada Jagung sehingga
dapat disimpan dalam gudang.
2.
Untuk kehilangan komoditas pascapanen,
Kacang kedelai mencapai lebih dari 50% sehingga akan berpengaruh pada kerusakan
komoditas tersebut. Semakin besar kehilangan berat pada suatu komoditas, maka
akan semakin menurunkan mutu dari komoditas itu sendiri, dan sebaliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2013. Grain Moisture Content and
Grain Quality. <http://www.knowledgebank.irri.org/index.php?option=com_zoo&view=item&layout=item&Itemid=1025>. Diakses
pada 2 April 2017.
Anugrah, dan N. Husnah. 2015. Menghitung
Kehilangan Pasca Panen Padi. <http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=1034:menghitung-kehilangan-pasca-panen-padi-&catid=181:buletin-nomor-9-tahun-2014&Itemid=399>. Diakses
pada tanggal 3 April 2017.
Effendi, S. 1980. Bercocok Tanam Jagung.
CV. Yasaguna, Jakarta.
Hatton, T.T., and E. B. Pantastico. 1986.
Persyaratan Masing-Masing Komoditi. dalam Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan
Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayuran Tropika dan Sub Tropika. Terjemahan oleh
Prof.Ir.Kamariyani, UGM. Yogyakarta.
Hidayat, M. A. 2014. Inovasi teknologi
untuk pengelolaan padi (Oryza sativa)
pada proses pengeringan dan penggilingan di lahan pasang surut Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang.
Kartasapoetra. A. G, 1987. Teknologi
Budidaya Tanaman Pangan di Daerah Tropik. Bina Aksara, Jakarta.
Kastanja, A.Y. 2007. Identifikasi Kadar
Air Biji Jagung dan Tingkat Kerusakannya Pada Tempat Penyimpanan. Jurnal
Agroforestri vol II (1). Politeknik Padamara. Tobelo.
Mardiyanto, T. C., dan S. Sudarwati.
2015. Studi nilai cerna protein susu kecambah kedelai varietas lokal secara in
vitro. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia 1(5):
1256-1264.
Muhtadi, D., dan B. Anjarsari. 1995. Meningkatkan
Nilai Tambah Komoditas Sayuran. Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB. Bogor.
Samad, M. Y. 2006. Pengaruh penanganan
pasca panen terhadap mutu komoditas hortikultura. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 8(1): 31-36.
Setyono A. 2010. Perbaikan teknologi
pascapanen dalam upaya menekan kehilangan hasil padi. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian 3(3):212-226.
Sutrisno D. R., Achmad, Jumali, Setyono
A. 2006. Pengaruh kapasitas kerja terhadap efisiensi pengeringan gabah
menggunakan box dryer bahan bakar sekam. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian.
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Bogor, Asosiasi Perusahaan Alat
dan Mesin Pertanian Indonesia. Hlm 331-341.
Tandiabang, J., M.S. Saenong, dan D.
Baco. 1998. Kehilangan hasil jagung oleh kumbang bubuk Sitophilus zeamais pada
berbagai umur simpan dan wadah penyimpanan, Laporan Hasil Penelitian Hama dan
Penyakit Tahun 1997/1998. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain,
Maros.
Wagiman, F.X. 2014. Hama Pascapanen dan
Pengelolaannya. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar